kampung muslim Bali

Selasa, 01 Maret 2011

Kisah Menakjubkan Tentang Sabar Dan Syukur Kepada Allah


  Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin Al-Huwairits RA. Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdilmalik.

Abdullah bin Muhammad berkata, “Aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka untuk mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan musuh)…tatkala aku tiba di tepi pantai, tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran tersebut terdapat sebuah kemah yang di dalamnya ada seseorang yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya, dan pendengarannya telah lemah serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun yang bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang itu berkata, “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memuji-Mu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan”
Abdullah bin Muhammad berkata, “Demi Allah aku akan mendatangi orang ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini, apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu?, ataukah ucapannya itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya?.
Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu kukatakan kepadanya, “Aku mendengar engkau berkata “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan“, maka nikmat manakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut?? dan kelebihan apakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu hingga engkau mensukurinya??”
Orang itu berkata, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan oleh Robku kepadaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku hingga membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku hingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah hal itu kecuali semakin membuat aku bersyukur kepadaNya, karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidah (lisan)ku ini. Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku maka aku perlu bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan aku minum, namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya. Maka tolonglah aku, carilah kabar tentangnya –semoga Allah merahmati engkau-”.
Aku berkata, “Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau”.
Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari situ aku sampai di suatu gundukan pasir. Tiba-tiba aku mendapati putra orang tersebut telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Akupun mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji’uun. Aku berkata, “Bagaimana aku mengabarkan hal ini kepada orang tersebut??”. Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub ‘alaihi as-Salam. Lalu aku menemui orang tersebut dan akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata, “Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?”, aku berkata, “Benar”. Ia berkata, “Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?”.
Akupun berkata kepadanya, “Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub ‘alaihis Salam?”, ia berkata, “Tentu Nabi Ayyub ‘alaihis Salam “, aku berkata, “Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?”, orang itu berkata, “Tentu aku tahu”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?”, ia berkata, “Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah”.
Aku berkata, “Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya”. Ia berkata, “Benar”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikapnya?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah”. Aku berkata, “Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal itu?”, ia berkata, “Iya”, aku berkata, “Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?” Ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah, langsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-!!”.
Aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau”. Orang itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan api neraka”, kemudian ia berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“, lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia.
Aku berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“, besar musibahku, orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka akan dimakan oleh binatang buas, dan jika aku hanya duduk maka aku tidak bisa melakukan apa-apa. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis.
Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku “Wahai Abdullah, ada apa denganmu?, apa yang telah terjadi?”. Maka akupun menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka berkata, “Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!”, maka akupun membuka wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka berkata, “Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, demi Allah tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur!!”.
Aku bertanya kepada mereka, “Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati kalian-?”, mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu ‘Abbas, ia sangat cinta kepada Allah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kamipun memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun berpaling dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan.
Tatkala tiba malam hari, akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga sambil membaca firman Allah
}سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ| (الرعد:24)
“Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. 13:24)
Lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?”, ia berkata, “Benar”, aku berkata, “Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua”, ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam kaeadaan di depan khalayak ramai”
Hal ini karena biasanya daerah perbatasan jauh dari keramaian manusia, dan kemungkinan Abdullah tidak membawa peralatan untuk menguburkan orang tersebut, sehingga jika ia hendak pergi mencari alat untuk menguburkan orang tersebut maka bisa saja datang binatang buas memakannya, Wallahu a’lam
Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Abdilmuhsin Firanda dari Kitab Ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban, tahqiq As-Sayyid Syarofuddin Ahmad, terbitan Darul Fikr, (jilid 5 halaman 2-5)

Mental Budak


  Dahulu, ketika Bisyr masih senang berfoya-foya di rumahnya, ia memiliki banyak sahabat yang mempunyai kebiasaan minum dan foya-foya.


Suatu hari, ada seorang shalih lewat di depan rumahnya lalu mengetuk pintu. Kemudian seorang budak perempuan keluar rumah untuk menemuinya.


Orang shalih itu bertanya, "Yang punya rumah ini orang merdeka atau budak."
Budak perempuan menjawab, "Orang merdeka."


Orang shalih berkata, "Benar jawabanmu, sekiranya pemilik rumah ini seorang budak, tentulah ia berperangai sebagaimana budak dan tidak berfoya-foya seperti ini."

Ternyata Bisyr (pemilik rumah) mendengar pembicaraan mereka berdua ini. Maka ia segera lari menuju pintu tanpa mengenakan sandal, namun orang shalih tersebut telah pergi.

Bisyr lalu berkata kepada budak perempuannya, "Celaka kamu, siapa yang mengajakmu bicara di depan pintu tadi?"

Kemudian sang budak menceritakan kejadian tersebut.

Bisyr bertanya, "Terus laki-laki tadi kemana?"
Budak menjawab, "Ke sana!"

Bisyr pun mengikuti kemana laki-laki itu menuju. Setelah dapat menyusul, Bisyr bertanya, "Wahai tuan, andakah tadi yang berhenti di depan pintu rumahku dan berbicara dengan budak perempuanku?"
Orang shalih menjawab, "Ya."

Bisyr berkata, "Tolong ulangi percakapan anda dengan budakku tadi!"
Orang shalih itu pun mengulangi pembicaraannya.

Seketika itu Bisyr pun menempelkan pipinya ke tanah, sambil berkata, "Wahai tuan, pemilik rumah itu seorang budak."

Setelah itu ia senantiasa berjalan tanpa sandal hingga ia dikenal dengan sebutan hufa’, orang tak bersandal.

Banyak orang bertanya kepada Bisyr, "Mengapa kamu selalu tidak memakai sandal?"

Bisyr menjawab, "Karena Tuhanku tidak berkenan menemuiku kecuali saat aku tidak mengenakan alas kaki. Aku akan terus bersikap demikian ini sehingga ajal menjemputku'." 


Walau Berilmu Tinggi,Namun Tetap Menghormati Ibunya


  Akibat menolak diangkat menjadi hakim, Abu Hanifah ditangkap. Ulama ahli hukum Islam itu pun di penjara. Sang penguasa rupanya marah besar hingga menjatuhkan hukuman yang berat.

Dalam penjara, ulama besar itu setiap hari mendapat siksaan dan pukulan. Abu Hanifah sedih sekali. Yang membuatnya sedih bukan karena siksaan yang diterimanya, melainkan karena cemas memikirkan ibunya. Beliau sedih kerena kehilangan waktu untuk berbuat baik kepada ibunya.
Setelah masa hukumannya berakhir, Abu Hanifah dibebaskan. Ia bersyukur dapat bersama ibunya kembali.
"Ibu, bagaimana keadaanmu selama aku tidak ada?" tanya Abu Hanifah.
"Alhamdulillah. .....ibu baik-baik saja," jawab ibu Abu Hanifah sambil tersenyum.
Abu Hanifah kembali menekuni ilmu agama Islam. Banyak orang yang belajar kepadanya. Akan tetapi, bagi ibu Abu Hanifah ia tetap hanya seorang anak. Ibunya menganggap Abu Hanifah bukan seorang ulama besar. Abu Hanifah sering mendapat teguran. Anak yang taat itu pun tak pernah membantahnya.
Suatu hari, ibunya bertanya tentang wajib dan sahnya shalat. Abu Hanifah lalu memberi jawaban. Ibunya tidak percaya meskipun Abu Hanifah berkata benar.
"Aku tak mau mendengar kata-katamu, " ucap ibu Hanifah. "Aku hanya percaya pada fatwa Zar'ah Al-Qas," katanya lagi.
Zar'ah Al-Qas adalah ulama yang pernah belajar ilmu hukum Islam kepada Abu Hanifah." Sekarang juga antarkan aku ke rumahnya,"pinta ibunya.
Mendengar ucapan ibunya, Abu Hanifah tidak kesal sedikit pun. Abu Hanifah mengantar ibunya ke rumah Zar'ah Al-Qas.
"Saudaraku Zar'ah Al-Qas, ibuku meminta fatwa tentang wajib dan sahnya shalat," kata Abu Hanifah begitu tiba di rumah Zar'ah Al-Qas.
Zar'ah Al-Qas terheran-heran kenapa ibu Abu Hanifah harus jauh-jauh datang ke rumahnya hanya untuk pertanyaan itu? Bukankah Abu Hanifah sendiri seorang ulama? Sudah pasti putranya itu dapat menjawab dengan mudah.
"Tuan, Anda kan seorang ulama besar? kenapa Anda harus datang padaku?" tanya Zar'ah Al-Qas.
"Ibuku hanya mau mendengar fatwa dari anda," sahut Abu Hanifah.
Zar'ah tersenyum," baiklah, kalau begitu jawabanku sama dengan fatwa putra anda," kata Zar'ah Al-Qas akhirnya.
"Ucapkanlah fatwamu," kata Abu Hanifah tegas.
Lalu Zar'ah Al-Qas pun memberikan fatwa. Bunyinya sama persis dengan apa yang telah diucapkan oleh Abu Hanifah. Ibu Abu Hanifah bernafas lega.
"Aku percaya kalau kau yang mengatakannya, " kata ibu Abu Hanifah puas. Padahal, sebetulnya fatwa dari Zar'ah Al-Qas itu hasil ijtihad (mencari dengan sungguh-sungguh) putranya sendiri, Abu Hanifah.
...
Dua hari kemudian, ibu Abu Hanifah menyuruh putranya pergi ke majelis Umar bin Zar. Lagi-lagi untuk menanyakan masalah agama. Dengan taat, Abu Hanifah mengikuti perintah ibunya. Padahal, ia sendiri dapat menjawab pertanyaan ibunya dengan mudah.
Umar bin Zar merasa aneh. Hanya untuk mengajukan pertanyaan ibunya, Abu Hanifah datang ke majelisnya.
"Tuan, Andalah ahlinya. Kenapa harus bertanya kepada saya?" kata Umar bin Zar.
Abu Hanifah tetap meminta fatwa Umar bin Zar sesuai permintaan ibunya.
"Yang pasti, hukum membantah orang tua adalah dosa besar," kata Abu Hanifah.
Umar bin Zar termangu. Ia begitu kagum akan ketaatan Abu Hanifah kepada ibunya.
"Baiklah, kalau begitu apa jawaban atas pertanyaan ibu Anda?"
Abu Hanifah memberikan keterangan yang diperlukan.
"Sekarang, sampaikanlah jawaban itu pada ibu anda. Jangan katakan kalau itu fatwa anda,"ucap Umar bin Zar sambil tersenyum.
Abu Hanifah pulang membawa fatwa Umar bin Zar yang sebetulnya jawabannya sendiri. Ibunya mempercayai apa yang diucapkan Umar bin Zar.
Hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Ibunya sering menyuruh Abu Hanifah mendatangi majelis-majelis untuk menanyakan masalah agama. Abu Hanifah selalu menaati perintah ibunya. Ibunya tidak pernah mau mendengar fatwa dari Abu Hanifah meskipun beliau seorang ulama yang sangat pintar.

Ada Apa Dengan 25 Desember ???


  Banyak orang menduga bahwa hari lahirnya Yesus ini diambil dari kebiasaan orang kafir penyembah dewa matahari, karena tanggal 25 Desember itu adalah hari lahirnya dewa matahari. Maka dari itulah ada beberapa aliran Kristen yang "pantang" bahkan menganggap haram untuk merayakan tradisi Natal, sebagai contoh aliran Advent dan Yehova.



Tanggal kelahiran Yesus tidak tercantum di Alkitab, bahkan baru 300 tahun kemudian tanggal 25 Desember itu ditentukan secara resmi sebagai hari lahirnya ‘Tuhan’ Yesus oleh Paus Julius I (Bishop Roma 337 - 352). Jadi orang-orang Kristen sebelumnya tidak pernah merayakan hari Natal seperti orang Kristen jaman sekarang.

Menurut perhitungan kalender yang digunakan oleh kita pada saat ini, Yesus dilahirkan di Betahunlehem pada 2000 tahun yang lampau. Tahun kalender kita ini diciptakan pada abad ke 6 oleh seorang Biarawan yang bernama Dionysius Exignus. Tahun Masehi yang kita gunakan sekarang ini disebut juga "anno Domini" = Tahunnya dari Tuhan.

Bagaimana ia bisa mengetahui bahwa Yesus dilahirkan pada tahun 1 SM? Ia mengambil data dari catatan sejarah yang menyatakan bahwa pada tahun 754 kalender Romawi itu adalah tahun ke 15 dari pemerintahan Kaiser Tiberius seperti yang tercantum di Lukas 3:1-2. Data inilah yang dijadikan patokan olehnya untuk mengawali tahun 1 SM. Disamping itu ia juga mengambil data dari Lukas 2:1-2 yang menyatakan bahwa Kirenius (Gubenur dari Siria) pertama kali menjalankan program sensus.


Walaupun demikian masih juga orang yang meragukannya, sebab menurut sejarahwan Yahudi yang bernama Flavius Josephus raja Herodes meninggal dunia pada tahun 4 SM dengan mana tanggal lahir nya Yesus harus dimundurkan sebanyak 4 tahun, "ini pun tidak benar" sebab ia menganalisa tahun tersebut berdasaran adanya gerhana bulan pada tahun saat Herodes meninggal dunia yang terjadi di Yerusalem pada tanggal 13 Maret tahun 4 sebelum Masehi, tetapi para ilmuwan sekarang telah membuktikan bahwa gerhana bulan tersebut terjadi bukan pada tanggal tersebut diatas melainkan pada tanggal 9 Januari tahun 1 SM. Tetapi yang sudah bisa dipastikan tanggal 25 Desember itu bukanlah tanggal hari kelahiran Yesus.

Pendapat ini diperkuat berdasarkan kenyataan bahwa pada malam tersebut para gembala masih menjaga dombanya di padang rumput. (Lukas 2:8). Pada bulan Desember tidak mungkin para gembala masih bisa menjaga domba-dombanya di padang rumput sebab musim dingin pada saat tersebut telah tiba, jadi sudah tidak ada rumput yang tumbuh lagi. Disamping itu tidak mungkin pula Kaisar menyuruh penduduknya untuk jalan begitu jauh (karena dulu belum ada mobil) untuk menjalankan program sensus di musim dingin yang sudah banyak turun salju.

Pada sekitar tahun 320 Kaisar Kristen Romawi Konstantin memerintahkan Gereja untuk mengambil tanggal 25 Desember sebagai hari lahir Yesus sebab pada tanggal tersebut adalah hari raya kaum kafir para penyembah Dewa Matahari yang dinamakan Saturnalia.


Berikut ini disalinkan apa adanya dari buku Perbandingan agama Kristen dan Islam karangan H. M. Arsjad Tahunalib Lubis hal 90 – 92.
“Kaum Kristen merayakan hari kelahiran Yesus (hari Natal/kelahiran) pada tanggal 25 Desember. Sebenarnya tahun dan tanggal kelahiran Yesus tidak dapat diketahui dengan pasti. Tanggal 25 Desember bukan tanggal kelahiran Yesus, tetapi tanggal kelahiran dewa matahari. Demikian juga tahun kelahiran Yesus tidak tepat pada tahun pertama dari tahun Masehi.”

Drs. M. E. Duyverman menulis sebagai berikut:
“Sangat mungkin kelahirannya jatuh pada tahun 6 atau 7 sebelum Masehi.”

Ds. B. J. boland menulis sebagai berikut:
“Tahun kelahiran Yesus tidak dapat ditentukan pasti; mungkin sekali antara 8 dan 6 sebelum Tarikh Masehi. Tanggal yang tepatpun sama sekali tidak diketahui. Tanggal yang lazim, yakni 25 Desember, hingga kinipun tidak dapat dipastikan kebenarannya (mungkin sekali tanggal itu diterima Kristen). Sebenarnya ketidak pastian itu juga tidak mengherankan. Sebab dalam Gereja Kristen zaman dahulu tanggal dan tahun kelahiran Yesus itu tidak dianggap penting. Hari raya yang terbesar ialah Paskah, bukan Natal! Hari Natal baru dirayakan di jemaat roma sejak tahun 354 (mungkin juga sejak tahun 335), di Konstantinopel sejak tahun 376, di Antiochia sejak tahun 388.”

Prof. dr. I. H. Enklaar menulis sebagai berikut:
“Masa raya kelahiran (hari Natal) pada tanggal 25 Desember berasal dari Roma pada abad ke IV; masa raya ini menjadi pengganti pesta kafir, yang dirayakan pada pertengahan musim dingin, karena pada saat itu matahari mulai bersinar kian hari kian lama dan panas lagi.”

Dean Farar dalam buku tulisannya yang beralamat "Riwayat Perjalanan Yesus" sudah menerangkan dengan pasti bahwa tidak ada bukti yang nyata yang membenarkan hari lahir Yesus tanggal 25 Desember. Bibel tidak mengatakan apa–apa akan hal itu, kecuali sedikit keterangan, yaitu: "Maka dalam jajahan negeri itu (Betleham; peny.) juga adalah beberapa kawan–kawan kambingnya pada malam (Injil Kitab Lukas 2: 8. Injil Yesus/Injil Perjanjian Baru)".

Kalau pada waktu itu Yesus dilahirkan, yaitu pada suatu malam ketika di padang terdapat beberapa orang gembala dengan kambingnya yang tinggal di situ pada waktu malam, maka tanggal 25 Desember itu susahlah akan diterima sebagai hari kelahiran Yesus. Sebab dalam bulan Desember tanggal 25 itu di tanah Judea musim hujan (salju) yang teramat hebat sehingga tiadalah seorang gembalapun dapat tinggal di padang di Betlehem dengan kambingnya pada waktu malam (lebih–lebih seorang perempuan yang baru habis melahirkan dan bayinya yang baru lahir itu yang menurut dogma mereka adalah orang yang sangat miskin dan ketika itu sama sekali tidak membawa perbekalan atau persiapan untuk hidup sekaligus melahirkan pada keadaan tersebut karena miskinnya. Menurut dogma, mereka tinggal di kandang kambing yang tebuka dan bayi hanya tertutup kain yang tipis yang hanya mungkin dilakukan di musim panas). Menurut kata tuan Usener, mula–mula orang merayakan hari kelahiran Yesus pada tanggal 6 Januari (Driekoningen). Akhirnya perayaan itu ketika tahun 353 Masehi diganti oleh Paus Liberius dijatuhkan pada tangga 25 Desember.

Akan tetapi sebelum abad yang ke empat tahun Masehi tidak ada bekas tanda–tanda orang merayakan hari kelahiran Yesus. Memang sebelum tahun 534 Masehi "Kerestmis (Chrismast; peny.)" dan "Driekoningen" tidak termasuk bilangan hari besar yang dirayakan.

Gereja gereja Khatolik sampai pada sekarang ini merayakan Chrismast pada tanggal 7 Januari, tidak pada 25 Desember sebagai mana Gereja Kristen yang lain–lain. Sebetulnya baru ketika tahun 530 Masehi orang menetapkan hari kelahiran Yesus. Pada waktu itu ditetapkan hari, bulan dan tahun kelahiran Yesus. Pekerjaan itu dilakukan oleh pendeta bangsa Scytahunian bernama Dionysius Exiguss; ia ahli nujum juga. Ia yang menentukan hari bulan dan tanggal yang sekarang dipakai dalam dunia Kristen. Apa sebabnya hari kelahiran Yesus ditetapkan pada tanggal 25 Desember satu atau dua hari maju mundur dari hari itu, ialah hari yang dianggap sebagai hari kelahiran beberapa macam dewa–matahari.
Menurut almanak Yulius hari itu hari lahirnya matahari, sang Mitahunra, seperti yang sudah kami terangkan, dilahirkan pada hari itu juga. Osiris, dewa orang Mesir menurut kata Plitarch dilahirkan pada 27 Desember. Horus, dewa yang lain lagi, dilahirkan pada 28 Desember. Dan Apollo dilahirkan pada hari itu juga. Nama–nama yang tersebut di atas itu semua nama dewa matahari.

Dr. J. L. Ch. Abinene menulis dalam buku "Ibadah Jemaat dalam abad–abad pertama" halaman 63 – 64 sebagai berikut:
  1. “Hari–hari Natal ini lama sekali tidak dirayakan oleh Gereja. Sebab, karena jemaat pertama tidak suka merayakan hari ulang tahun. Itu adalah kebiasaan kafir. Dalam seluruh Injil Perjanjian Baru tidak pernah kita membaca orang–orang Kristen yang merayakan hari ulang tahun mereka. Hanya orang–orang kafir saja, seperti Herodes (Injil Kitab Matius 14: 6. Injil Yesus/Injil Perjanjian Baru), yang berbuat demikian. Itulah yang antara lain menyebabkan bahwa sampai sekarang kita tidak tahu dengan pasti saat (hari dan bulan) manakah tuhan Yesus dilahirkan "ketika Kirenius menjadi wakil pemerintahan di Syiria (Injil Kitaab Lukas 2: 2. Injil Yesus/Injil Perjanjian Baru).”
Sungguhpun demikian lama kelamaan jemaat merayakan juga hari raya Natal, mula–mula tanggal 6 Januari, di Mesir (sekitar abad ketiga), di Galia (360 M) dan di Spanyol (380 M). Kemudian jemaat di kota Romawi menyusul (akhir abad ke empat), tetapi pada tanggal yang lain: 25 Desember.


Dari keterangan di atas ternyata bahwa tanggal 25 Desember adalah pada mulanya hari perayaan orang kafir menyambut terbitnya matahari, bukan tanggal kelahiran Yesus, tetapi kemudian telah dirayakan sebagai tanggal kelahiran Yesus. Patut menjadi perhatian pula, bahwa penanggalan Masehi sebenarnya juga merupakan perhitungan (peringatan hari) kelahiran Yesus, jadi tanggal 1 Januari tahun 0 dianggap dengan hari kelahiran Yesus, hal ini selain bisa dilihat dari beberapa literatur, juga bisa diambil dari lambang–lambang yang berlaku padanya seperti tulisan AD (Anno Domino/tahun tuhan) atau TM (Tarich Masehi/Penanggalan Masehi/Penanggalan sejak Kristen turun/Penanggalan sejak Yesus lahir) dibelakang angka tahun untuk menyatakan waktu sejak tanggal 1 Januari tahun 0 hingga kini, dan tulisan BC (Before Christ/sebelum kelahiran Christus/sebelum kelahiran Yesus/sebelum turun Kristen) di belakang angka tahun untuk menyatakan waktu sejak tanggal 31 Desember sebelum tahun 0 hingga jauh sebelumnya. Jadi di sini ada kontradiksi yang sangat berat yang sama sekali tidak bisa terselesaikan tentang kelahiran Yesus (tuhan anak dari agama Kristen), yaitu antara tanggal 25 Desember dengan maju atau mundur sekitar 8 tahun dari tahun 0 yang dirayakan oleh umat Kristen kebanyakan, atau tanggal 7 Januari sekitar 8 tahun maju atau mundur dari tahun 0 yang dirayakan oleh umat Kristen golongan Katolik, atau tanggal 1 Januari tahun 0 seperti penanggalan Masehi yang berlaku hingga kini, manakah yang benar diantara ketiganya

Wallahu A’lam, apalagi harinya, jamnya, waktunya, situasinya, peristiwanya dan sebagainya. Mereka saja hingga kini sama sekali tidak tahu sehingga ketiganya dirayakan sekaligus oleh mereka, apalagi kita umat Islam yang nota bene sangat berbeda aqidah dan ajarannya.

Semoga bermanfaat…

NB. Kajian ini bahkan ditulis oleh orang-orang Kristen sendiri

Allahu A'lam...

Masjid Qiblatain


  Sebuah peristiwa penting berupa perpindahan arah kiblat dialami Rasulullah  dan para sehabat saat sedang melakukan shalat dzuhur berjamaah di Masjid Qiblatain. Itulah mengapa masjid ini dinamai Qiblatain yang berarti dua kiblat.


Dikisahkan ketika Rasulullah sedang melakukan salat dzuhur (riwayat lain menyebutkan salat ashar) berjamaah di Masjid Qiblatain, mendadak turun wahyu (Q.S. Al-Bagarah:114) yang memerintahkan mengubah arah kiblat dari Masjidil Aqsa di Palestina (utara) ke Ka’bah di Masjidil Haram di Mekkah (selatan).

“Sungguh Kami melihat mukamu, menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwu berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”

Padahal, ketika turun wahyu tersebut shalat telah berlangsung dua rakaat. Maka begitu mendengar wahyu tersebut, serta merta Rasulullah dan para shahabat langsung memindahkan arah kiblatnya atau memutar arah 180 derajat. Dan peristiwa perpindahan kiblat itu dilakukan sama sekali tanpa membatalkan shalat. Juga tidak dengan mengulangi shalat dua rakaat sebelumnya. Ayat itu sendiri adalah ayat yang diturunkan kepada Rasulullah yang telah lama mengharapkan dipindahkannya kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram.

Peristiwa yang terjadi pada tahun 2 H, atau tepatnya 17 bulan setalah nabi Muhammad hijrah ke Madinah itulah yang menjadi cikal bakal pemberian nama Masjid Qiblatain yang berarti dua kiblat. Sebelum dinamai Qiblatain karena perubahan arah kiblat itu, masjid yang terletak di atas bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah, itu bernama Masjid Bani Salamah.

Tadinya di dekat Masjid Qiblatain ada telaga yang diberi nama Sumur Raumah, sebuah sumber air milik orang Yahudi. Mengingat pentingnya air untuk masjid, maka atas anjuran Rasulullah, Usman bin Affan kemudian menebus telaga tersebut seharga 20 ribu dirham dan menjadikannya sebagai wakaf. Air telaga tersebut hingga sekarang masih berfungsi untuk bersuci dan mengairi taman di sekeliling masjid, serta kebutuhan minum penduduk sekitar. Hanya bentuk fisiknya sudah tidak kelihatan, karena ditutup dengan tembok.

Dalam perkembangannya, pemugaran Masjid Qiblatain terus-menerus dilakukan, sejak zaman Umayyah, Abbasiyah, Utsmani, hingga zaman pemerintahan Arab Saudi sekarang ini. Pada pemugaran-pemugaran terdahulu, tanda kiblat pertama masih jelas kelihatan. Di situ diterakan bunyi QS. AlBaqarah: 114, ditambah larangan bagi siapa saja yang shalat agar tidak menggunakan kiblat lama itu.

Berziarah ke Masjid Qiblatain mengandung banyak hikmah. Selain ibadah shalat wajib dan sunat di sana, jamaah dapat juga memetik ibrah (suri teladan) dari para pejuang Islam periode awal (as-sabiqunal awwalun) yang begitu gigih menyebarkan risalah Islamiyah, melaksanakan perintah Allah SWT baik dalam segi ibadah mahdlab (ritual), seperti berjamaah, mengganti kiblat, dan menyucikan diri, maupun dalam segi ibadah ghair mahdlah (sosial) seperti menyisihkan harta untuk kepentingan umat, untuk memugar masjid dan lain sebagainya.

Semoga kita semua dapat berkunjung ke sana, Amiin…


Ketulusan Seorang Budak


  Seorang lelaki yang baik hati membeli seorang budak. Budak itu berakhlak baik dan kuat agamanya.


Lelaki itu bertanya kepada budak yang dibelinya, “Hambaku, kamu ingin makan apa ?”.

Budak itu menjawab, “Makanan apa saja yang tuanku berikan kepadaku.”

“Kamu ingin pakaian apa ?” tanya majikannya lagi.

“Pakaian apa saja yang tuanku berikan kepadaku.”

“Kamu ingin duduk dimana di dalam rumahku ?“

“Dimana saja tuanku tempatkan aku“

“Kamu ingin kerja apa ?”

“Apa saja yang tuanku perintahkan.”

Sang Majikan menangis sambil berkata, “Betapa beruntungnya aku seandainya aku dengan Tuhanku seperti kamu denganku.”

Si budak berujar, “Tuanku, apakah seorang hamba pantas punya keinginan atau pilihan di hadapan tuannya ?”

Sang Majikanpun berkata, “Kamu merdeka atas nama Allah !.“

(Abd Al Qadir Al Jaylani - Mata Air dari al Fathu-r-Rabbani)

Taubatnya Penjual Kurma


  Dikisahkan seorang penjual kurma yang hidup pada masa Rasulullah. Si penjual kurma tersebut waktu itu agak sulit mendapatkan kurma yang baik. Ketika itu di tokonya banyak yang antri untuk membeli kurmanya, beberapa di antaranya adalah perempuan. Pada saat tiba giliran seorang perempuan yang muda dan cantik ingin membeli, perempuan itu menanyakan, adakah kurma yang baik? Si penjual kurma menanyakan bahwa kurma yang dimaksud itu ada, tetapi di dalam. Si pedagang mengatakan kepada si perempuan untuk menunggu sebentar setelah ia selesai melayani pembeli yang lain.


Setelah si penjual kurma selesai melayani pembeli yang lain, perempuan itu pun datang lagi menanyakan kurma yang dimaksud kepada si penjual kurma. Lalu si penjual kurma pun mengajak si perempuan ke dalam. Setelah sampai di dalam, yaitu di belakang toko, si penjual kurma kemudian mencium perempuan itu. Rupanya si penjual kurma sengaja mengatakan bahwa kurma yang dimaksud ada di dalam atau di belakang, tak lain agar ia bisa mencium perempuan tersebut.

...

Setelah kejadian itu, si penjual kurma pun menyesal akan perbuatannya. Ia pun datang kepada Rasulullah menceritakan perihal perbuatannya itu. Rasulullah menanyakan, apakah perbuatan itu dilakukannya dengan sadar. Dijawab oleh si penjual kurma, bahwa memang perbuatan tersebut dilakukannya dengan sadar. Ditanyakan lagi oleh Rasululah, apakah perbuatan tersebut didorong oleh hawa nafsu. Si penjual kurma menyatakan, bahwa memang benar perbuatannya tersebut didorong oleh hawa nafsu. Rasulullah kemudian mengatakan, kalau begitu, si penjual kurma harus bertaubat, yaitu dengan cara berwudhu’, kemudian salat dua rakaat. Sewaktu sujud, maka perlamalah sujud, dan kalimat “astaghfirullah” diulangi sampai seratus kali.

Setelah itu, turunlah ayat yang menyatakan:
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (Q.S. Huud: 114)


Kita sering berdoa yang intinya meminta kepada Allah dan bermunajat kepada-Nya agar kita senantiasa bertaubat. Bahkan dalam doa yang sering kita panjatkan itu, yaitu “Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah wallahu akbar” oleh Imam Al-Ghazali dikatakan merupakan kalimat-kalimat yang paling mulia dan juga selalu diucapkan oleh Rasulullah. Aisyah istri Rasulullah pernah bertanya, “Mengapa engkau ya Rasulullah selalu mengucapkan kalimat itu? Mengapa engkau selelu bertaubat? Bukankah engkau telah dijamin tidak mempunyai dosa?”

Rasulullah pun menjawab, “Aku dijamin tak mempunyai dosa. Tetapi aku kadang-kadang merasa menjadi berdosa. Aku malu kepada Allah yang telah memberikan segala-galanya kepadaku. Mengapa aku kemudian tidak memuji-Nya, padahal Allah telah memberikan kepadaku segala sesuatu.”

Kalau Rasulullah selalu mengucapkan kalimat-kalimat itu, mengapa kita tidak? Kalau Rasulullah masih mau bertaubat, mengucapkan kalimat “astaghfirullaahal ‘azim”, mengapa kita tidak?

Allah berfirman:
Wa saari’uu ilaa maghfiratin min rabbikum wa jannatin ‘ardhuhaas-samawaatu wal aardh u-’iddat lil muttaqiin [Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,] (Q.S. Ali Imraan: 133)

Mengapa Allah mengatakan “Wa saari’uu ilaa maghfiratin min rabbikum”, bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu, cepat-cepatlah kalian semuanya bertaubat? Apakah maksudnya? Maksudnya, agar setiap setelah kita melakukan suatu perbuatan dosa, kemudian kita sadar, maka cepatlah pada saat itu juga meminta ampun kepada Allah, jangan ditunda-tunda. Misalkan, ketika kita berdusta, segeralah mengucapkan “astaghfirullah”. Dan Allah mengatakan, bahwa perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus dosa.

Berkaitan dengan taubat adalah dosa. Menurut para ulama, secara umum pada dasarnya dosa itu ada dua, yaitu dosa besar dan dosa kecil. Dosa besar ada lagi yang terbesar, yaitu musyrik (menyekutukan Allah). Para ulama berbeda pendapat mengenai musyrik. Ada yang berpendapat bahwa musyrik tidak diampuni oleh Allah. Sedangkan pendapat yang lain menyatakan, mengapa tidak diampuni, buktinya sahabat-sahabat Rasulullah seperti Abu Bakar, Umar ibn Khattab, dan Utsman ibn Affan itu sudah dinyatakan diampuni oleh Allah, padahal mereka semuanya pernah menjadi musyrik. Jadi, dosa syirik tetap diampuni oleh Allah.

Dosa besar yang lain adalah: mendurhakai orang tua, dusta di pengadilan, memakan makanan yang haram, berzina, membunuh, dan mengambil hak orang lain (mencuri). Dosa besar takkan diampuni dengan hanya mengeluarkan sedekah, ataupun melakukan salat sunnat, melainkan dosa besar akan diampuni apabila orang tersebut memang benar-benar bertaubat dan bertekad tidak mengulanginya lagi (taubatan nasuha). Sedangkan dosa-dosa kecil tak bisa kita hindari, di mana-mana kita temui dosa kecil ini, tapi di mana-mana kita temukan kesempatan untuk beribadah dan bertaubat. Dosa-dosa kecil ini bisa terhapus dengan salat, berwudhu’, dan ibadah lainnya. Karena itulah, kita harus bersegera untuk taubat.

Niat adalah suatu hal yang paling penting. Jika kita sudah berniat untuk bertaubat, maka hal tersebut sudah dianggap suatu kebaikan.

Dari sinilah katanya hadist yang mengatakan “innamal a’malu bin niat” (amal itu ditentukan oleh niat). Dan Allah itu Ghafurun Rahim (Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Karena itulah, jangan takut bahwa kita tidak diampuni oleh Allah. Selama niat kita untuk bertaubat, insya Allah kita akan dia

Gara-Gara Adzan Subuh


  Wajahnya kerap muncul di televisi di Indonesia. Dia terbilang sukses membawakan sebuah acara bertemakan religi. Selama ini dia lebih dikenal dengan nama 'Indonesia'-nya, Wahyu Soeparno Putro.


Tak banyak yang mengetahui siapa nama asli, pria kelahiran Skotlandia pada 28 Juli 1963 ini. Meski terlahir di tanah Skotlandia, dia mengaku sejak kecil telah menjadi penganut Budha. Orangtuanya memberi nama, Dale Andrew Collins-Smith. Menghabiskan kulian di tanah Australia, Dale mengawali kisah hidupnya di Indonesia ketika bekerja di sebuah perusahaan kerajinan di Yogyakarta pada 1999.

Sebagai seorang yang terbiasa mandiri karena pada usia 20 tahun telah menjadi yatim-piatu, Dale harus menghadapi kehidupan dengan tradisi yang jauh berbeda dengan asal-usulnya. Seperti ketika dia harus mendengarkan suara adzan yang berkumandang setiap hari dari masjid yang letaknya berdekatan dengan tempat tinggalnya di kota gudeg itu.

Awalnya, dia begitu terganggu dengan suara adzan, khususnya Adzan Subuh. Seakan tak mau terganggu, adzan itu begitu mengusik kenyamanan tidurnya. Adzan itu seperti menggedor-gedor gendang telinganya. Selama tinggal di Skotlandia dan Australia, dia tak pernah mendapatkan situasi seperti itu.

Dale tinggal di rumah seorang warga Yogya bernama Soeparno. Ayah beranak lima yang bekerja sebagai satpam itu sudah menganggap Dale sebagai anaknya sehingga dibebaskan untuk tinggal dirumahnya. Karena setiap hari mendengarkan suara adzan Subuh itu, Dale kemudian menjadi terbiasa mendengarkannya. Bahkan, karena itu dia berubah menjadi kerap terbangun di pagi hari.

Tak hanya itu, setelah menetap cukup lama di rumah itu, Dale terbiasa bangun 5-10 menit lebih awal dari adzan Subuh. ''Ini yang membuat saya heran,'' katanya. ''Padahal sejak kecil saya tak pernah bisa bangun pagi, tapi di sana (Yogyakarta) saya mampu merubah pola hidup saya untuk bangun pagi.''

Suara adzan itu tampaknya menjad awal pertemuannya dengan Islam. Perlahan hidayah itu merasuk ke dalam jiwanya. Dia pun mulai bertanya-tanya tentang Islam. Diawali dengan pertanyaan sederhana seperti mengenai sholat dan puasa. Tanpa malu, dia menanyakan itu kepada teman-teman Muslim-nya. Di saat Ramadhan, Dale mulai ikut-ikutan berpuasa. ''Awalnya saya cuma ingin mengetahui saja seperti apa sih rasanya puasa,'' tuturnya.
Rutinas bangun pagi sebelum sholat Subuh dan puasa Ramadhan yang mulai terbangun dalam dirinya ternyata memberikan perasaan tenang bagi dia. Perasaan itu menjalar terus dalam dirinya. ''Saat itu saya merasa seperti sudah sangat dekat saja dengan orang-orang di sekitar saya,'' katanya sambil mengaku pada fase tersebut dia sudah semakin fasih berbicara Indonesia.

Tak merasa cukup terjawab tentang Islam pada rekan sepergaulan, Dale kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada ketua pengurus masjid dekat tempatnya tinggal. Tapi sekali lagi, hasratnya untuk mengetahui Islam masih belum terpuaskan. Maka pada suatu ketika, bertemulah dia dengan seorang ustadz bernama Sigit. Ustadz ini masih berada satu kampung dengan tempat tinggalnya di kediaman Soeparno. ''Waktu saya ceritakan tentang pengalaman saya, dia malah berkata kepada saya,'Sepertinya malaikat mulai dekat dengan kamu','' kata Dale menirukan ucapan Pak Sigit.

Mendengar ucapan itu, Dale merasakan seperti ada yang meledak-ledak di dalam dirinya. ''Semuanya seperti jatuh ke tempatnya,'' kata dia menggambarkan situasi emosional dirinya ketika itu. ''Saat itu saya juga sudah bisa menangkap secara akal sehat tentang Islam,'' tambahnya. Ledakan yang ada di dalam diri itu kemudian membawa Dale terus menjalin hubungan dengan Pak Sigit. Dari sosok ustadz itu, dia mengaku mendapatkan sebuah buku tentang Islam dan muallaf. Dan pada saat itu pula, niatnya untuk mempelajari sholat kian menggelora.

Di saat dirinya merasa semakin menuju Islam, pria yang begitu berharap bisa menjadi warga negara Indonesia ini kemudian bertanya pada Soeparno. ''Saya merasa lucu karena sudah seperti merasa Muslim,'' kata dia kepada ayah angkatnya itu. ''Tetapi bagaimana caranya,'' sambung dia. Mendengar ucapan pria bule, Soeparno sangat terkejut. Lantas lelaki ini menyarankan agar Dale masuk Islam saja melalui bantuan Pak Sigit.

Tidak membutuhkan waktu lama, medio 1999, Dale Andrew Collins-Smith kemudian mengucapkan syahadat sekaligus berganti nama menjadi Wahyu Soeparno Putro. Prosesi 'hijrah' itu dilakukannya di masjid yang mengumandangkan adzan Subuh dekat rumahnya, yang dulu dianggap telah mengganggu tidurnya.
(Republika Online)